Soal Penangkapan Ikan Terukur KKP, Pakar IKA Perikanan Unhas Sebut Tak Tepat

UNGKAPAN.ID, MAKASSAR – Kebijakan penangkapan ikan terukur dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendapat sorotan serius oleh Dewan Pakar Ikatan Alumni (IKA) Perikanan Unhas.

Kebijakan yang rencana bakal mulai pada Maret 2022 menyusul finalisasi atas Rancangan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan (Rapermen KP) tentang perikanan dinilai belum saatnya dapat diberlakukan di Indonesia.

“Tidak tepat dan belum saatnya untuk konteks Indonesia hari ini,” kata Taswin Munier, Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni (IKA) Perikanan Unhas, Senin (21/02/2022).

Menurut Taswien, kebijakan ini boleh dikatakan terlalu prematur untuk diterapkan saat ini. Mengingat sistem pendataan pemerintah dalam hal ini KKP dan Komnas Kajiskan (Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan) yang berbasis wilayah pengelolaan perikanan dan pemerintah daerah belum akurat dan lengkap.

Ini terkait jumlah dan jenis tangkapan, ukuran ikan, daerah penangkapan, alat tangkap, pelabuhan pendaratan, dan lainnya. Baik data yang berbasis waktu (time series) maupun tempat (Spatial).

Dengan kata lain, Indonesia belum punya satu kajian yang bisa mencatat dengan akurat dan lengkap tentang potensi sumber daya perikanan yang ada. Untuk bisa dijadikan dasar penetapan kuota penangkapan.

Aturan dan kebijakan pemerintah selama ini juga belum bisa dijalankan dengan maksimal. Baik karena kemampuan petugas (jumlah dan kapasitas) masih belum mencukupi, anggaran operasional tidak cukup, dan tambahan lagi penegakan hukum (law enforcement) yang lemah.

“Saat pemerintah mengeluarkan kebijakan perikanan terukur yang berbasis data dan berharap semua pelaku penangkapan patuh pada aturan, jadi ngeri-ngeri sedap mendengarnya,” katanya.

Apalagi batasan ruang laut tidak sejelas dengan ekosistem hutan yang dapat dikenali dengan kasat mata.

Menurut rilis resmi Kementerian Perikanan dan Kelautan tentang penangkapan ikan terukur, kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengatur zonasi daerah penangkapan ikan. Diperuntukkan bagi industri perikanan, nelayan lokal, dan zona pemijahan. Begitu pula dengan kuota penangkapan yang diizinkan pada masing-masing zona.

Baca juga:  Polemik Pergantian WR 3, Rektor UNM Sebut Diistirahatkan

Adapun untuk zona skala industri akan diberikan persentase alokasi penangkapan yang lebih besar dengan metode lelang terbuka kepada empat sampai lima investor. Dengan masa kontrak 20 tahun antara KKP dan investor. Baik lokal maupun asing.

Dewan Pakar IKA Perikanan Unhas menilai kebijakan kontrak jangka panjang ini berpotensi menempatkan pemerintah dalam jebakan eksploitasi tak berujung. Mirip dengan izin usaha pertambangan (IUP), dan kontrak karya perusahaan sawit.

Padahal perencanaan pemerintah, baik terkait zonasi ruang laut maupun pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan belum mengakomodir langkah-langkah antisipatif dan preventif. Untuk jangka panjang atau selama 20 tahun.

“Ini sangat tidak berpihak bagi kelangsungan penghidupan 2,5 juta nelayan, terutama nelayan kecil dan tradisional. Rapermen tentang Perikanan Terukur ini perlu dikonsultasikan dengan elemen masyarakat yang lebih luas,” sebutnya.

Tidak sampai di situ saja, baginya dengan melihat kemungkinan narasi yang kontradiktif dengan aturan yang telah ada sebelumnya.

Dan tidak saja aturan perundangan yang langsung mengatur tentang perikanan dan kelautan, tapi juga secara umum tentang pembangunan berkelanjutan. Seperti penurunan emisi, kompensasi imbal jasa lingkungan hidup, perizinan berusaha berbasis risiko, dan lainnya.

“Semua itu untuk memastikan bahwa kebijakan perikanan terukur ini berpihak pada keberlangsungan tersedianya sumberdaya perikanan bagi anak-cucu kita kelak,” pungkasnya.