UNGKAPAN, MAKASSAR – Pemerintah Kota Makassar bersama organisasi kepemudaan yang tergabung dalam Cipayung Plus berkomitmen merawat semangat demokrasi di tengah masyarakat.
Komitmen itu dibahas dalam forum dialog terbuka bertajuk “Kota dan Kemanusiaan: Mewujudkan Demokrasi berbasis HAM” yang digelar di Tribun Karebosi, Rabu malam (01/10/2025).
Dalam kesempatan itu, Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin hadir langsung mendengarkan aspirasi, saran, sekaligus gagasan yang disampaikan OKP serta mahasiswa dari berbagai elemen.
“Bagi kami, forum dialog ini menjadi ruang sinergi antara pemerintah, aparat keamanan, dan pemuda untuk menjaga stabilitas, memperkuat kolaborask, serta menjaga Kota, mendorong arah pembangunan yang berkeadilan,” ujar Munafri.
Hadir dalam kesempatan tersebut, Kapolrestabes Makassar Kombes Pol Arya Perdana, Dandim 1408/Makassar Franki Susanto.
Dialog ini diikuti sejumlah organisasi besar yang tergabung dalam Cipayung Plus, di antaranya HMI MPO, PMKRI, PMII, IMM, GMNI, GMKI, KAMMI, HIKMAHBUDHI, dan LMND.
Kegiatan tersebut bukan sekadar ajang silaturahmi, melainkan juga wujud kepedulian terhadap kondisi demokrasi dan sistem hukum perpolitikan Indonesia.
Para peserta saling bertukar pandangan, menyampaikan saran, dan menawarkan solusi konstruktif bagi arah pembangunan bangsa, khususnya di Makassar.
Lebih lanjut, Munafri Arifuddin, menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, aparat, mahasiswa, hingga seluruh elemen masyarakat dalam menghadapi tantangan pembangunan dan dinamika demokrasi di Kota Makassar.
Ia menjelaskan, sebagai kota metropolitan di Kawasan Timur Indonesia, Makassar menjadi magnet utama bagi berbagai aktivitas, baik ekonomi, sosial, maupun kemasyarakatan.
Dengan jumlah penduduk sekitar 1,4 juta jiwa, Makassar memikul beban sekaligus harapan besar masyarakat yang menggantungkan kehidupannya di kota ini.
“Makassar ini adalah pintu gerbang Timur Indonesia. Arus urbanisasi begitu deras, arus informasi dan kegiatan sangat padat,” tuturnya.
“Ini semua menjadi tantangan bagi pemerintah kota untuk mengatur sistem pemerintahan yang harus berjalan dengan baik,” lanjutanya.
Pria yang akrab disapa Appi itu menekankan, pemerintah tidak mungkin mampu menyelesaikan seluruh problematika yang ada tanpa dukungan penuh dari berbagai pihak. Karena itu, sinergi dan kekompakan menjadi hal yang mutlak dibangun.
“Pemerintah butuh Polri, butuh TNI, butuh pedagang, butuh mahasiswa, butuh semuanya. Semua harus saling menopang, karena hanya dengan kekuatan bersama, pembangunan bisa berjalan efektif,” tegasnya.
Mantan Bos PSM menyinggung bahwa seringkali permasalahan muncul ketika fungsi dan porsi tiap elemen masyarakat tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Menurutnya, kesadaran akan kewajiban dan peran masing-masing menjadi kunci untuk menjaga stabilitas sosial dan politik di Makassar. Dia berharap, apa yang dibicarakan memberikan positif.
“Mari bersama pemerintah menyumbangkan pikiran-pikiran kritis, narasi-narasi konstruktif, agar Makassar tetap menjadi kota dambaan semua masyarakat,” harap Appi.
Ia juga menegaskan bahwa Makassar harus tumbuh sebagai kota modern yang inklusif. Sebuah kota yang mampu menghadirkan kenyamanan, pendidikan, kehidupan yang layak, serta ruang aman tanpa diskriminasi.
“Salah satu ciri kota modern adalah tumbuh inklusif, tanpa membeda-bedakan siapa dia, dari mana asalnya, agamanya, atau warna kulitnya,” katanya.
“Demokrasi itu sejatinya adalah penghormatan terhadap hak-hak dasar warga kota,” tambah Munafri.
Sedangkan, Kapolrestabes Makassar Kombes Pol Arya Perdana mengapresiasi mahasiswa di Kota Makassar yang dinilai mampu menjaga kondusivitas saat menyampaikan aspirasi.
Arya menegaskan, unjuk rasa merupakan hak warga negara yang dijamin undang-undang sebagai bagian dari sistem demokrasi. Namun, dalam pelaksanaannya, hak menyampaikan pendapat juga harus memperhatikan hak asasi orang lain.
“Saya ingin sampaikan, bahwa menyampaikan aspirasi di muka umum itu hak asasi manusia. Tapi jangan lupa, ada hak asasi manusia lain yang juga harus dijaga,” ucapnya.
Menurutnya, undang-undang telah mengatur secara jelas tata cara pelaksanaan unjuk rasa agar tidak menimbulkan gangguan terhadap masyarakat.
Di antaranya larangan aksi di depan rumah sakit, bandara, pelabuhan, terminal, maupun pada hari besar tertentu, serta aturan batas waktu hingga pukul 18.00.
“Semua aturan itu dibuat agar aspirasi bisa tersampaikan, tetapi hak orang lain juga tidak terganggu. Kalau kita ingin jadi warga negara yang baik, kita juga harus mematuhi aturan undang-undang,” tegas Arya.
Dalam paparannya, Arya menyinggung dinamika aksi unjuk rasa yang sempat mengguncang sejumlah kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan Semarang. Ia mengapresiasi Makassar yang relatif kondusif pada aksi unjuk rasa tanggal 25–28 Agustus 2025.
Meski begitu, Arya mengingatkan adanya kejadian berbeda pada 29 Agustus 2025, ketika situasi berubah ricuh setelah pukul 18.00.
Menurutnya, aksi damai mahasiswa sejak siang berlangsung tertib, tetapi kemudian ditunggangi pihak-pihak tak bertanggung jawab.
“Muncul orang-orang berpakaian hitam, tidak jelas dari mana asalnya. Mereka tidak lagi menyuarakan aspirasi rakyat, tapi melakukan pengrusakan, penjarahan, bahkan pembakaran. Itu bukan lagi mahasiswa, melainkan pelaku kriminal,” bebernya.
Kejadian tersebut, lanjut Arya, menjadi pelajaran penting bahwa demokrasi harus dijaga agar tidak dimanfaatkan oleh pihak lain untuk merusak tatanan sosial.
Dalam forum tersebut, Arya menekankan bahwa kepolisian berkomitmen mendukung ruang demokrasi yang sehat.
Namun, ia juga berharap mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat dapat bersama-sama menjaga ketertiban agar Makassar tetap aman dan kondusif.
“Saya yakin tidak ada satupun dari kita yang ingin Makassar menjadi rusuh, terbakar, atau tidak aman. Semua kita ingin kota ini tetap damai, sehingga adik-adik bisa kuliah dengan nyaman, masyarakat bisa beraktivitas dengan tenang,” tandasnya.
Pada kesempatan ini, Komandan Kodim (Dandim) 1408/Makassar, Franki Susanto menekankan pentingnya pemuda terus menjaga idealisme, nasionalisme, serta semangat bela negara di tengah tantangan global.
Franki menjelaskan, dinamika global saat ini memasuki era perang hibrida atau hybrid war, di mana ancaman terhadap negara tidak lagi berbentuk konvensional.
Menurutnya, berbagai lini kehidupan bisa dimanfaatkan untuk melemahkan bangsa, mulai dari media sosial, ekonomi, agama, hingga isu-isu suku dan ras.
“Kalau di istilah militer, perang hibrida ini tidak ada bentuknya. Semua masuk, mau dari handphone, media sosial, agama, suku, ras, ekonomi, sampai sejarah,” katanya.
“Itu semua bisa dijadikan pintu masuk untuk membuat Indonesia tidak baik-baik saja,” lanjut dia.
Ia mengingatkan kembali bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang meraih kemerdekaan dengan perjuangan rakyat, bukan pemberian.
Hal inilah yang menurutnya harus menjadi kebanggaan sekaligus penguat nasionalisme. Dikatakan, Indonesia ini merebut kemerdekaan, bukan hadiah.
“Berbeda dengan beberapa negara lain. Rakyat kita berjuang dengan darah dan pengorbanan. Itu harus kita jaga. NKRI adalah harga mati,” tegas Franki.
Lebih lanjut, ia menekankan konsep perang semesta yang dipegang TNI, di mana rakyat menjadi kekuatan utama dalam menjaga kedaulatan. TNI, kata dia, lahir dari rahim rakyat dan selalu berdiri bersama rakyat.
“Kalau merujuk sumpah prajurit, kami ini lahir dari rakyat, untuk rakyat, dan akan selalu menjaga rakyat,” tuturnya.
“Karena itu saya minta adik-adik pemuda untuk terus berkarya, membangun, dan menjaga persatuan. Jangan mudah terprovokasi apalagi terjebak berita hoaks,” tambah dia.
Franki menegaskan, TNI akan selalu berdiri di garis depan membela bangsa dan siap memberikan perbantuan kepada kepolisian apabila ada pihak-pihak yang berusaha merusak ideologi dan persatuan bangsa.
“Mari kita jaga Makassar dengan baik, kita bangun bersama, kita hormati perbedaan, kita jaga Indonesia ini dengan rasa bela negara dan nasionalisme yang tinggi,” pungkasnya.