Menanam Harapan di Tanah Pesisir: Pusat Edukasi Mangrove Lestari Hadirkan Semangat Baru dari Tekolabbua

Pusat Edukasi Mangrove Lestari Hadirkan Semangat Baru dari Tekolabbua

UNGKAPAN, PANGKEP — Aroma laut berpadu dengan semilir angin pesisir menyambut langkah-langkah kecil menuju hutan mangrove yang rindang di Kelurahan Tekolabbua. Hari itu, bukan hanya jejak kaki yang tertinggal di tanah berlumpur, tetapi juga jejak harapan — tentang masa depan yang lestari, dan tentang komunitas yang bangkit bersama alamnya.

Forum Komunitas Hijau (FKH) bersama Yayasan Hadji Kalla (YHK) menggagas sebuah gerakan yang bukan hanya menyentuh tanah, tetapi juga hati dan kesadaran masyarakat. Bertajuk “Penguatan Ekosistem dan Penghidupan Masyarakat melalui Pusat Edukasi Komunitas Mangrove Lestari”, kegiatan ini menjadi titik temu antara konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, Sabtu (19/7/2025) lalu

Di antara para peserta yang hadir—kelompok tani nelayan, Babinsa, aparat kelurahan, guru, pelajar, hingga komunitas pemuda—satu nama bergema paling kuat: Hamzah. Seorang tokoh lokal yang tanpa pamrih menanam ribuan bibit mangrove selama bertahun-tahun. Baginya, menanam bukan sekadar kegiatan, tapi sebuah warisan.

“Mangrove ini bukan untuk saya, tapi untuk anak cucu kita nanti,” ucap Hamzah dengan mata yang berkaca-kaca namun penuh semangat.

Menurut Ketua FKH Sulawesi Selatan, Yusran, keberadaan tokoh-tokoh seperti Hamzah menjadi bukti bahwa pelestarian alam sejatinya tumbuh dari bawah. “Transformasi ini bukan hanya teknis, tapi juga budaya berpikir dan bertindak. Kami di FKH hanya memfasilitasi lahirnya sistem berbasis komunitas,” ujar Yusran.

Sementara itu, Yayasan Hadji Kalla melalui Program Manajernya, Sapril Akhmady, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan kelanjutan dari komitmen jangka panjang mereka dalam mendukung konservasi lingkungan pesisir. Pusat Edukasi Mangrove Lestari akan menjadi ruang belajar terbuka, di mana masyarakat bisa saling berbagi pengetahuan, pengalaman, dan solusi.

“Kami percaya bahwa edukasi berbasis pengalaman lokal jauh lebih berdampak. Dan di sini, kita punya Hamzah, yang telah menjaga pantai ini dengan tangannya sendiri,” ujar Sapril.

Baca juga:  Film Ambo Nai' Sopir Andalan Tayang di Bioskop, Yuk Dukung Karya Sineas Lokal

Konsep pusat edukasi ini melampaui sekadar pelatihan teknis. Ia adalah ruang hidup baru — tempat di mana siswa sekolah dasar bisa belajar tentang akar mangrove, kelompok perempuan bisa merancang produk ramah lingkungan, dan mahasiswa bisa meneliti sambil mengabdi.

Tidak hanya di Tekolabbua. YHK dan FKH merancang pusat edukasi ini sebagai model percontohan nasional, yang bisa direplikasi di berbagai kawasan pesisir seperti Tanakeke, Sinjai, hingga Polman. Inilah jawaban terhadap tantangan besar: abrasi, perubahan iklim, dan ketimpangan ekonomi di wilayah pesisir.

Dalam diskusi hangat malam itu, disepakati pula pengembangan infrastruktur sanitasi, akses transportasi, hingga program regenerasi kader lingkungan. Sapril menegaskan pentingnya estafet peran dalam menjaga kelestarian lingkungan.

“Kita tidak bisa bergantung selamanya pada satu tokoh. Harus lahir Hamzah-Hamzah baru di masa depan,” katanya penuh harap.

Acara ditutup dengan pemutaran video dokumenter Yayasan Hadji Kalla yang menyoroti perjuangan komunitas hijau dari waktu ke waktu. Senyuman dan semangat peserta yang pulang malam itu menjadi bukti bahwa sebuah perubahan telah dimulai — dari akar rumput, dari desa pesisir, dari hati yang peduli.

Tekolabbua kini bukan hanya nama sebuah tempat. Ia telah menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap kerusakan, sekaligus lambang kolaborasi dan harapan hijau untuk masa depan.(*)