UNGKAPAN, MAKASSAR – Forum Komunitas Hijau (FKH) menyoroti kasus perambahan hutan lindung di area izin KSU Jaya Abdai di Desa Erelembang, Kabupaten Gowa.
Menurut Ketua LSM Lingkungan Hidup FKH Achmad Yusran, aksi kolaborasi antar Pemerintah Kabupaten Gowa, Polres Gowa hingga Pemerintah Provinsi Sulsel, memang sudah bisa diapresiasi. Hanya saja tindakan yang dilakukan dinilai baru sebatas pengobatan di ujung lidah, bukan penyembuhan akar penyakit.
“Aksi kolaborasi ini memang nampol di media, tetapi ini adalah langkah reaktif yang terlambat. Hutan sudah telanjur dibabat. Pertanyaannya, di mana fungsi Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan Hidup (PPLH) yang seharusnya mencegah ini sejak dini? Di mana mata dan telinga pemerintah daerah selama ini?” tegas Yusran dalam keterangannya pada Jumat, (12/11/2025).
Yusran dengan tegas juga menyampaikan bahwa perambahan hutan lindung bukan hanya kejahatan konvensional, melainkan kejahatan iklim berjubah ekonomi yang dampaknya dirasakan secara global dan lokal.
“Setiap hektar hutan lindung yang hilang di Erelembang adalah pukulan telak bagi upaya adaptasi perubahan iklim di Sulsel. Hutan itu adalah penyerap karbon, penjaga tata air, dan benteng terakhir dari banjir bandang serta longsor. Ketika ia dirambah, kita semua yang menanggung risikonya,” ucapnya.
Menanggapi ancaman sanksi berdasarkan UU No.41/1999, Yusran mendesak agar hukum ditegakkan tidak hanya kepada pelaku fisik di lapangan, tetapi terutama kepada aktor intelektual dan pemegang izin yang lalai.
“KSU Jaya Abadi sebagai pemegang izin perhutanan sosial harus diusut tuntas. Apakah mereka hanya ‘tidur’ atau justru ‘bermain mata’ dengan para perambah? Jangan sampai hanya tangan-tangan kecil yang dihukum, sementara para cukong dan pemegang izin yang mestinya bertanggung jawab justru bebas berkeliaran. Pasal-pasal pidana korporasi dan pencabutan izin harus dijalankan,” serunya.
Dia menyebutkan, kasus ini menguak borok terbesar krisis pengawasan lingkungan hidup yang kronis. Fungsi PPLH di daerah ini jelas lumpuh.
“Mengapa izin diberikan tanpa mekanisme pengawasan yang ketat? Ini menunjukkan sistemnya bobrok. Kami mendesak pemeriksaan internal terhadap oknum di DLH dan KPH yang mungkin lalai atau bahkan terlibat konspirasi. Kolaborasi jangan hanya saat ada kerusakan, tapi harus dibangun dalam sistem pencegahan sehari-hari,” sebutnya.
Olehnya itu, Achmad Yusran memberikan tiga tuntutan konkret yaitu, proses hukum harus transparan dan menyentuh seluruh rantai pelaku, dari eksekutor hingga pemegang izin, pemulihan ekosistem (rehabilitasi hutan) harus dimulai segera dengan melibatkan masyarakat adat/lokal, dengan anggaran yang dipikul oleh pelaku dan/atau pemegang izin dan evaluasi total dan penguatan sistem PPLH di seluruh level pemerintahan, termasuk peningkatan kapasitas dan independensi pengawas lingkungan hidup.
“Jangan biarkan kasus ini hanya jadi bahan pemberitaan hangat lalu dilupakan. Keberlangsungan hidup kita bergantung pada kelestarian hutan. Penegakan hukum di Erelembang adalah ujian nyata komitmen pemerintah menghadapi krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Jangan gagal,” tutupnya.








