UNGKAPAN, MAKASSAR — Dugaan kasus pelecehan seksual yang menyeret nama Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Dr. Karta Jayadi, menjadi sorotan serius kalangan legislatif. Sekretaris Komisi D DPRD Kota Makassar, dr. Fahrizal Arrahman Husain, menilai peristiwa tersebut harus dijadikan momentum evaluasi menyeluruh dalam tata kelola kepemimpinan perguruan tinggi.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengusulkan agar pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mewajibkan tes psikologi dan kepribadian bagi seluruh calon rektor sebelum ditetapkan atau dilantik.
Menurut Fahrizal, kasus yang melibatkan pimpinan kampus menunjukkan masih adanya celah dalam mekanisme seleksi calon rektor. Ia menilai, selama ini proses penjaringan terlalu menitikberatkan pada aspek administratif dan akademik, sementara penilaian psikologis belum menjadi perhatian utama.
“Kementerian harus menjadikan ini sebagai bahan evaluasi. Dalam setiap penjaringan calon rektor atau pimpinan universitas, seharusnya wajib ada tes psikologi dan tes kepribadian seperti MMPI,” tegas Fahrizal saat dikonfirmasi, Selasa (4/11/2025).
Dokter yang akrab disapa dr. Ical itu menilai pemeriksaan psikologis penting untuk mengetahui kondisi mental dan stabilitas emosi seorang calon pemimpin kampus sebelum diberi kewenangan besar dalam mengelola institusi pendidikan.
Ia juga mengaku prihatin atas dugaan kasus pelecehan yang mencoreng nama baik Universitas Negeri Makassar. Fahrizal mengungkapkan bahwa dirinya mengenal dekat sosok Prof. Karta Jayadi dan selama ini tidak pernah mendengar adanya persoalan serupa.
“Saya kenal baik Pak Rektor UNM sekarang. Bahkan bisa dibilang seperti orang tua saya sendiri, karena saya juga berasal dari lingkungan kampus itu. Setahu saya, sebelumnya tidak pernah ada masalah seperti ini,” ungkapnya.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa kedekatan personal tidak boleh menghalangi proses penegakan hukum. Jika dugaan yang beredar terbukti benar, maka penyelesaian hukum harus dilakukan secara terbuka dan tuntas.
“Kalau memang benar, sebaiknya diselesaikan lewat jalur hukum. Kalau tidak, ini justru bisa merusak citra lembaga pendidikan yang selama ini sudah dibangun dengan baik,” sambungnya.
Fahrizal menilai, kasus semacam ini berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan tinggi. Padahal, kampus seharusnya menjadi ruang aman untuk pembentukan karakter, moral, dan nilai-nilai intelektual generasi muda.
“Kampus itu simbol intelektual, tempat mencetak pemimpin masa depan. Kalau sampai ada kasus pelecehan di level pimpinan, wajar jika masyarakat mempertanyakan integritas dunia pendidikan,” ujarnya.
Karena itu, ia menekankan bahwa pembenahan harus dimulai dari hulu, yakni pada proses seleksi calon pemimpin universitas. Menurutnya, tes akademik dan rekam jejak administratif saja tidak cukup untuk menjamin kualitas kepemimpinan seorang rektor.
“Tes psikologi dan MMPI itu penting. Dalam dunia medis, pemeriksaan ini digunakan untuk menilai stabilitas kejiwaan dan kemampuan seseorang mengontrol emosi. Ini seharusnya juga diterapkan dalam seleksi pimpinan kampus,” pungkasnya.






