SULSEL  

16 Ribu Hektare Kawasan Hutan di Gowa Dilepas Statusnya, FKH: Hilang Karena Kebijakan

UNGKAPAN, MAKASSAR – Sepanjang tahun 2015 sampai 2025, sekitar 16.250 hektare kawasan hutan di Kabupaten Gowa beralih status yang bukan lagi termasuk kawasan hutan. Padahal, kawasan hutan di Gowa dulunya berada pada kisaran 61.000 hingga 66.000 hektare.

Forum Komunitas Hijau (FKH) membeberkan, sepuluh tahun terakhir ini terlebih dengan hadirnya SK Menteri LHK Nomor 362 Tahun 2019, terjadi penyusutan kawasan hutan dan menjadi ancaman yang serius bagi daya dukung lingkungan Sulawesi Selatan.

“Ini bukan fluktuasi data, tapi perubahan kebijakan yang menghilangkan fungsi ekologis secara permanen,” kata Ketua FKH Achmad Yusran, Sabtu (13/11/2025).

Kata Yusran, pelepasan sekitar 1.852 hektare pada 2021–2022 dengan alasan kepastian hukum, sebaiknya tanpa boleh mengabaikan dampak ekologis jangka panjang. Meski sudah ada program TORA seluas 5.626 hektare pada 2020 dan reboisasi, upaya tersebut dinilai belum sebanding dengan laju kehilangan kawasan hutan.

Dengan luas wilayah Gowa sekitar 1.883 kilometer persegi, lanjut Yusran, penurunan proporsi hutan berpotensi meningkatkan risiko banjir, longsor, dan konflik sosial-ekologis.

“Hutan di Kabupaten Gowa tidak hilang karena bencana, tetapi karena keputusan kebijakan. Dengan pelepasan kawasan hutan, adalah cara paling rapi untuk memindahkan risiko ekologis dari negara ke rakyat,” jelas Yusran.

Penataan batas tanpa keberpihakan ekologis hanya melegitimasi penyusutan hutan secara sah. Apalagi, ketika status hutan dihapus, yang diwariskan bukan pembangunan, tetapi kerentanan.

Achmad Yusran juga mengaitkan penyusutan kawasan hutan di Gowa dengan meningkatnya risiko bencana hidrometeorologi di kawasan sekitarnya, termasuk banjir di Gowa dan Maros.

“Gowa adalah daerah hulu. Ketika kawasan hutannya dilepas dan dialihfungsikan, maka wilayah hilir seperti Maros dan Makassar akan menanggung dampaknya,” ujarnya.

Baca juga:  DWP Sulsel Gelar Donor Darah untuk Peringati Hari Kartini

Menurutnya, banjir yang berulang tidak bisa lagi dipahami semata sebagai fenomena cuaca ekstrem.

“Curah hujan memang meningkat, tetapi kerusakan daerah tangkapan air akibat alih fungsi hutan memperparah dampaknya,” kata dia.

Forum Komunitas Hijau menilai, tanpa moratorium pelepasan kawasan hutan dan evaluasi kebijakan tata ruang, bencana akan terus berulang dan biaya sosial-ekologisnya ditanggung masyarakat.