UNGKAPAN, MAKASSAR – Suara dentuman bass yang memekakkan telinga, truk penuh tumpukan speaker, dan lampu LED warna-warni yang berkelip—itulah gambaran sound horeg, fenomena hiburan jalanan yang kini menjadi perbincangan hangat di berbagai daerah di Indonesia.
Istilah “sound horeg” berasal dari gabungan kata sound (suara) dan horeg (bahasa Jawa: bergetar). Sesuai namanya, fenomena ini merujuk pada sistem pengeras suara berukuran raksasa, sering kali dipasang di atas kendaraan seperti truk atau pickup, dengan dentuman bass yang mampu membuat bangunan dan tanah di sekitarnya bergetar.
“Volume-nya bisa mencapai 120 sampai 130 desibel, setara suara pesawat jet. Tidak heran jika kaca rumah warga bisa ikut bergetar,” kata Dr. Arif Santosa, peneliti akustik dari Universitas Negeri Surabaya.
Sound horeg mulai populer di Malang, Jawa Timur, sekitar 2014, terutama dalam pawai komunitas. Fenomena ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah, pesisir utara Jawa, bahkan ke luar Pulau Jawa. Acara hajatan, kampanye, hingga festival musik jalanan kini sering menjadikannya daya tarik utama.
Bagi sebagian warga, sound horeg adalah bentuk hiburan rakyat yang murah meriah. Namun, dampak negatifnya tak bisa diabaikan: gangguan pendengaran permanen, kerusakan infrastruktur, hingga potensi konflik sosial.
“Saya pernah harus menutup warung lebih cepat karena pelanggan terganggu suara dentuman dari sound horeg. Kalau begini, hiburan buat siapa?” ujar Sulastri (47), pedagang di Kabupaten Lamongan.
Tak hanya itu, beberapa insiden fatal pernah terjadi. Panggung roboh, penonton cedera, bahkan ada korban jiwa akibat peralatan yang jatuh.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa haram untuk sound horeg yang mengganggu kesehatan, moral, dan ketertiban umum. Kepolisian setempat juga mengimbau agar praktik ini dihentikan, meski hingga kini belum ada regulasi hukum yang secara spesifik mengatur.
“Kami bukan anti-hiburan. Tapi kalau sudah merusak kesehatan dan membahayakan orang, harus ada batasnya,” tegas Kombes Pol Heru Santoso, Kabid Humas Polda Jatim.
Meski menuai kritik, bisnis sound horeg cukup menguntungkan. Biaya sewanya bisa mencapai puluhan juta rupiah per acara, menyerap tenaga kerja, dan menjadi ladang rezeki bagi teknisi, sopir, hingga penyedia panggung.
“Buat kami ini sumber penghasilan. Kalau diatur jamnya dan lokasi jelas, semua bisa aman,” ujar Bambang Riyanto, pemilik usaha sound horeg di Kudus.
Sound horeg adalah potret unik kreativitas dan budaya komunitas, tetapi tanpa pengelolaan yang bijak, ia berpotensi menjadi masalah serius. Regulasi, edukasi publik, dan penghargaan terhadap ruang serta kesehatan masyarakat menjadi kunci agar fenomena ini bisa terus eksis tanpa merugikan pihak lain.(*)