UNGKAPAN, MAKASSAR — TPA Antang di Kecamatan Manggala bukan sekadar tempat berakhirnya jutaan ton sampah Kota Makassar. Di balik gunungan limbah itu, tersembunyi kisah-kisah tentang ketimpangan sosial, perjuangan hidup para pemulung, serta krisis ekologi yang terus memburuk. Di sinilah, mahasiswa pecinta lingkungan Sintalaras Universitas Negeri Makassar (UNM) menapak jejak aktivismenya.
Ketua Dewan Eksekutif Sintalaras, Moh Yusril, menjelaskan bahwa kegiatan field trip pendidikan dasar angkatan ke-37 yang digelar pada Minggu, 18 Mei 2025, bukan sekadar kunjungan biasa. Lebih dari itu, kegiatan ini adalah aksi belajar dan empati yang menyelami langsung akar permasalahan sosial dan ekologis yang membelit kawasan TPA Antang.
“Field trip ini bukan sekadar observasi, melainkan cara kami belajar dan memahami luka sosial-ekologis yang nyata. Kami datang bukan untuk menghakimi, tapi untuk mendengar, mencatat, dan meresapi langsung realitas di lapangan,” ujar Yusril, Senin (19/5/2025).
Rute yang dilalui para peserta meliputi wilayah Rappocini, Panakkukang, hingga ke jantung permasalahan di TPA Antang. Mereka menyusuri jalur-jalur krisis yang membentuk wajah kota — bukan dari balik layar kuliah, melainkan dari tanah yang dipijak warga yang terdampak.
Dengan tema “Bumi yang Terbuang”, setiap peserta mengenakan label nama-nama batuan seperti Rubi, Kapur, Basal, dan Olivin—sebuah simbol bahwa lapisan-lapisan bumi yang murni kini tertimbun limbah manusia. Sebuah metafora yang kuat tentang kehancuran lingkungan sekaligus harapan untuk regenerasi.
Di lokasi, mereka mendengarkan penjelasan langsung dari Yusran, alumni Sintalaras sekaligus Ketua Forum Komunitas Hijau, yang memberikan gambaran umum kondisi terkini TPA Antang. Para peserta juga berkesempatan mendengar kisah Ibu Dewi, seorang pemulung yang telah belasan tahun bertahan hidup dari memilah sampah dan berhasil menyekolahkan anaknya hingga lulus sarjana.
“Di sinilah titik balik empati itu dimulai—saat statistik berubah menjadi suara manusia. Ketika tumpukan sampah tak hanya berbicara tentang polusi, tapi tentang mimpi, pengorbanan, dan harapan,” ungkap Yusril.
Dewan Pendiri Sintalaras, Langgasa, menambahkan bahwa kegiatan ini membuka mata banyak peserta terhadap realitas krisis sampah yang kerap tersembunyi di balik narasi kebersihan semata.
“Banyak yang menganggap sampah hanya soal kebersihan. Padahal, ini soal ketimpangan sosial, ketidakadilan ekologis, dan kebijakan yang tak berpihak pada masyarakat akar rumput. Masalah ini tak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan teknis. Diperlukan keadilan sosial dan perubahan sistemik,” tegas Langgasa.
Sebagai penutup kegiatan, para peserta diminta menulis refleksi dan menyusun peta sosial kawasan TPA sebagai landasan awal riset dan kampanye advokasi yang berkelanjutan. Sintalaras menegaskan, ini bukan akhir, melainkan awal dari perjuangan panjang mewujudkan pengelolaan sampah yang lebih adil dan manusiawi.
“Esensi dari belajar adalah merasakan langsung. Melihat dan mendengar dari bawah adalah cara paling ampuh untuk mengubah paradigma. Dari tumpukan sampah di Antang, tumbuh benih kesadaran baru. Bahwa bumi yang kotor bisa dibersihkan—bukan hanya dengan teknologi, tapi juga dengan hati yang bersedia mendengar dan bergerak,” pungkas Langgasa. (*)