UNGKAPAN, MAKASSAR – Setelah sempat dihantui kekhawatiran tak bisa berlayar karena belum memasang alat pemantauan kapal, kabar gembira akhirnya datang untuk para nelayan di Sulawesi Selatan.
Pemerintah resmi mengizinkan penerbitan kembali Surat Laik Operasi (SLO) dan Surat Perintah Berlayar (SPB) untuk kapal-kapal nelayan yang belum dilengkapi Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP) atau Vessel Monitoring System (VMS).
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulsel, Muhammad Ilyas, mengonfirmasi hal ini usai mengikuti rapat koordinasi daring bersama Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI pada Senin, 14 April 2025.
“Alhamdulillah, sore ini kami mendapat informasi dari Direktur Pengendalian Operasi Armada bahwa SLO dan SPB sudah bisa diterbitkan kembali untuk kapal-kapal yang belum memasang VMS dan dapat beroperasi di laut,” ungkap Ilyas.
Rapat virtual yang digelar pukul 14.00 WITA itu merupakan respons atas permintaan resmi dari DKP Sulsel terkait perpanjangan relaksasi aturan pemasangan VMS, berdasarkan aspirasi dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sulsel.
Menurut Ilyas, relaksasi ini masih akan berlaku hingga Desember 2025, memberikan waktu cukup bagi nelayan untuk beradaptasi dengan aturan baru. Setidaknya, 382 kapal nelayan di Sulsel yang sebelumnya terancam berhenti melaut kini bisa kembali beraktivitas.
“Permohonan ini berangkat dari kekhawatiran dampak ekonomi akibat terhentinya operasional ratusan kapal nelayan kita. Tapi ini bukan hanya aspirasi Sulsel saja—daerah lain juga menghadapi kendala yang sama,” tambahnya.
Sebagai langkah konkret, Pemprov Sulsel di bawah kepemimpinan Gubernur Andi Sudirman Sulaiman akan mempercepat pengalokasian subsidi pengadaan VMS melalui APBD Perubahan 2025. Bantuan ini ditujukan khusus untuk kapal nelayan berukuran di bawah 30 GT agar bisa memenuhi kewajiban pemasangan alat pemantauan tanpa terbebani biaya besar.
“Pemasangan VMS akan diupayakan sesegera mungkin, baik secara mandiri maupun lewat bantuan dari pemerintah daerah,” tegas Ilyas.
Ketua DPD HNSI Sulsel, Andi Chairil Anwar, menyambut positif keputusan ini. Ia menyebut kebijakan ini sebagai hasil nyata dari sinergi antara nelayan, HNSI, dan Pemprov Sulsel yang direspons cepat oleh pemerintah pusat.
“Alhamdulillah, prinsipnya kami bersyukur. Upaya koordinasi kami dengan DKP Sulsel diapresiasi positif oleh KKP,” ujarnya.
Andi Chairil juga memastikan bahwa proses penerbitan SLO dan SPB telah berjalan lancar sejak keputusan tersebut diumumkan.
“Tadi sore sudah ada laporan dari pemilik kapal bahwa proses pelayanan SLO dan SPB sudah mulai berjalan,” tambahnya.
Meski demikian, HNSI menekankan pentingnya kepastian jangka panjang agar nelayan tidak terus dihantui oleh regulasi yang bisa tiba-tiba menghentikan aktivitas mereka.
“Kami sedang mempersiapkan surat yang akan kami kirim ke Komisi IV DPR RI dalam 1–2 hari ke depan. Kami ingin menyampaikan langsung aspirasi agar aktivitas nelayan memiliki kepastian hukum dan operasional,” pungkas Andi Chairil.
Aturan wajib pemasangan VMS selama ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, alat ini dianggap penting untuk memantau aktivitas kapal dan mencegah praktik penangkapan ilegal. Namun di sisi lain, biaya pemasangan yang mencapai Rp10–15 juta per unit menjadi beban berat, terutama bagi nelayan kecil dan tradisional.
Dengan adanya kebijakan sementara ini, nelayan Sulsel bisa kembali ke laut—terutama di bulan April hingga Agustus yang dikenal sebagai musim panen ikan terbaik dalam setahun.
Angin segar ini tentu menjadi titik terang bagi ribuan keluarga nelayan yang sempat dilanda ketidakpastian.